Aku
dan kamu. Dulu tiga kata itu menjadi kita.
Masih
bolehkah aku membicarakan masa lalu ?
Kalau
boleh aku bercerita, dulu kau bagai langit senja, indah dan merah. Sebuah senja
yang sempurna dibentangkan dilangit. Aku ? dan aku lah awan yang menari indah
di bawah mu, aku lah awan yang memperindah gagahmu. Aku bergelombang dengan
angkuh, aku sesuka hatiku. Sampai aku tega menghitamkan senjamu, aku bisa saja
tiba-tiba menjadi dinding yang tinggi dan menutupi cerahmu, menghitamkan
jinggamu. Melampiaskan semua keegoisanku. Aku menodai senjamu dengan hujanku.
Aku menghitamkan senjamu dengan guruhku. dan anginpun merayu ku.
Awan
lupa diri, ia terlalu sesuka hati. Sampai ia lupa, alasan langit senja itu
merah. Ia lupa kalau langit senja itu indah bukan hanya karna dia. Awan tidak
tau kalau bahkan langit punya sesuatu yang lebih membanggakan dari dia, awan
tidak pernah sadar kalau langit punya mataharinya. Yang menyembur dari
pongahnya, warna merah yang melebihi merahnya darah, melebihi kentalnya getir
dan melebihi geloranya cinta. Senja itu di lengkapi kepingan matahari merah
bergerigi, tidak megah dan tidak pongah. Yang tidak memaksa menyeruakkan
warna-warna ke atasnya. Yang ikhlas meninggi dan memerah kembali saat senja
sudah lelah dengan dinginnya awan.
Bahkan
langit senja tanpa awan tetap indah asalkan mataharinya setia menemani.
Sekarang
?
Semua
sudah berbalik arah, senja sudah berjodoh dengan mataharinya. Ada atau tidaknya
awan akan sama saja. Ia akan tetap indah, senja itu akan tetap merah. Senja itu
akan tetap gagah.
Sekarang,
awan terbuang. Awan harus rela melihat senjanya tidak membutuhkannya lagi.
Bahkan saat awan tidak bisa membendung tangisnya dan menghitamkan seluruh
langit, besok matahari senja akan tetap ada. Tetap akan memerahkan senja kembali.
Tetap akan menjadikan nya indah lagi.
Dan
sekarang, awan iri. Ia cemburu. Ia bahkan menyesal. Kenapa senjanya sekarang
mempunyai yang lebih darinya. Kenapa dulu ia tidak menjaga senjanya. Kenapa ia
membiarkan matahari memperindah senjanya lebih dari dia.
Irinya,
cemburunya, dan rasa sesalnya membuat ia ingin pergi jauh. Meski ia tidak akan
pernah bisa menjauhi senja, ia akan berusaha menggeser tempatnya sedikit. Ia
tidak lagi ingin melihat merah itu, ia enggan melihat gagah itu dan hangat
rengkuhan senjanya yang dulu. Biarlah ia selalu gelap bersama malam, setidaknya
itu akan membantunya melupakan senjanya. Dan semoga bulan tidak menolaknya.
T.T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar